Kamis, 02 Januari 2014

Origami Pesawat Terbang



Bayangan diriku saat berlajan menuju kampus pun masih tak terlihat, “yaahhh….. pagi-pagi gini harus masuk kuliah”, gerutuku sambil memainkan ponsel flip kesayanganku. Aku berjalan melewati beberapa tempat untuk sampai di kampus. “sepi…”, kataku lirih sambil duduk dan menyandarkan tubuhku pada sebuah tembok. Tak lama kemudian satu persatu teman-temanku pada datang dan mengambil posisi kesukaannya, begitu pun dengan ani, dia teman terdekatku di kampus dan di kelas ini.
“Ani siapa itu yang duduk bersama Zains ? kok aku nggak pernah lihat, dia anak angkatan kita apa kakak angkatan kita ?”, tanyaku pada ani sambil menunjuk arah taman kampus tepat didepan kelas Psikologi Agama.
“Nggak tahu er, nggak pernah lihat juga”, jawab ani dengan aura kebingungan.
Aku pun kembali membuka catatan tentang psikologi agama. Mata kuliah ini adalah mata kuliah yang sangat lama waktunya, tiga SKS sekaligus  hingga membuat kami merasa bosan dan terkadang enggan walau hanya mendengar dosen yang menjelaskan. 09.30 adalah waktu yang sangat kita tunggu-tunggu setelah berbosan-bosan duduk dari jam 07.00.
Beberapa hari kemudian aku melihat cak bagier bersama orang yang waktu itu sempat menggangguku, mereka sedang duduk di teras kampus, aku menyapa cak bagier, namun temannya yang kini membuatku penasaran hanya melihatku, kemudian mereka pindah ke taman. Saat beberapa waktu berselang, ku lihat ia sedang ngobrol dengan seseorang, entahlah siapa dia, aku tak terlalu memperhatikan teman bicaranya karena yang ku pandang saat itu hanya dia, dan saat itu pula ia juga memandangku sampai mampu membuatku salah tingkah dan kemudian ku alihkan pandanganku pada notebook sahabat setiaku.
Hari ini ujian tengah semester pertama, lagi-lagi Psikologi Agama. Ketika aku keluar kelas, aku  melihat seseorang yang dari kemarin-kemarin mengganggu pikiranku bersama dua teman yang sudah ku kenal sejak masa kuliah aktif, yaitu zains dan cak bagier. Tiba-tiba suara seseorang memanggilku dan aku pun menoleh padanya,
“Ada apa zains ?”, tanyaku pada seseorang yang tadi memanggilku.
“Sini-sini…” pintanya padaku, namun aku hanya menggeleng dan masuk ke kelas lagi, aku takut salah tingkah didepan seseorang yang selama satu tahun ini baru ku temui beberapa minggu lalu dan aku pun tak tahu nama orang tersebut. Karena begitu penasaran aku pun memberanikan diri bertanya pada zains, dalam pikirku “mungkin zains mengenal siapa dia, soalnya dia tadi bersama zains dan cak bagier, dan mereka kelihatan akrab”.
“Zainnnnssss…… aku mau tanya sesuatu sama kamu, tapi janji ya jangan bilang siapa-siapa” ku ketik pada sebuah obrolan di facebook ketika sore hari.
“Tanya apa ?” jawab zains sekaligus.
“Tapi janji ya jangan bilang siapa-siapa?” pintaku padanya karena selama mengenal zains, zains ini tipe orang yang jail, takut kalau ia akan bercerita pertanyaanku pada temannya yang kini mulai hidup di hatiku.
“Kalau nggak percaya nggak usah tanya” jawabnya yang membuatku semakin sebel sama dia, tapi dia memiliki kepositifan, yaitu baik hati.
“Gini zains, tadi yang duduk didepanmu saat kamu ditaman itu namanya siapa?”.
“Yang mana?”.
“Yang depan kamu, tadi waktu kamu di taman kan bersama cak bagier dan…. Itu siapa namanya?” jawabku menjelaskan kronologi kejadian disiang tadi.
“Oh… aushof ta?” jawab zains yang membuat rasa penasaranku terjawab.
“Oh namanya aushof? ok ok… terima kasih banyak zains” kataku diiringi ucapan terimakasih. Mulailah saat itu aku mengetahui nama orang yang sedang mengganggu pikiranku, “dia terlihat sempurna, tinggi, putih bersih, rapi, stylis, dan terkesan keren banget” gumamku sambil tersenyum nggak jelas.
            Keesokan harinya ujian matakuliah Agama dan Gender. “ternyata sedikit mudah” pikirku sambil melangkah mengumpulkan lembar jawaban. ”ini masih terlalu pagi jika aku harus balik ke kos, mau ngapain juga di kos” pikirku. Kemudian aku pergi ke kantin perpustakaan, disinilah tempatku menyendiri, berfikir dan berimajinasi tentang dunia fantasi yang mengelilingi angan dalam sadarku. Ku buka facebook, blog, smaboy, dan yang pasti ku buka cerpen-cerpen orang yang diposting didunia maya, itu kebiasaanku dikala senggang.
Tak terasa waktu begitu cepat berputar dan aku mulai bosan dengan suasana disekitar, akhirnya ku putuskan untuk pulang. Saat ku lihat ponsel dan ku balas sebuah pesan dari sahabatku, “aushof…” gumamku, ku lihat ia sedang duduk di depan tv umum di perpustakaan sambil menoleh ke arah kirinya, entah apa yang ia lakukan. Ketika aku semakin mendekati tiba-tiba ia menoleh padaku yang berjarak kira-kira lima sampai tujuh meteran dari samping kanannya hingga aku benar-benar disampingnya ia masih memandangku dan bodohnya diriku, aku pun tak mampu berpaling dari pandangannya sampai akhirnya aku melewatinya dan tak menoleh ke arahnya lagi. “Yaa Tuhan…. Pandangan tadi terlihat seperti ada rasa penasaran dan kaget, apa maksudnya…” tanyaku pada Tuhan tanpa terjawab. Kemudian aku pulang dan bercerita pada sahabatku yang ada di jawa timur.
            Lima hari setelahnya aku bertemu dengannya, yang berawal saat aku duduk ditaman dengan teman-teman kelasku, kemudian terlihat zains yang sedang cari posisi di taman juga.
“Zaaiinnnsss… Zaaiinnsss…” teriakku padanya, ia pun merespon dan memanggilku.
“Aku punya sesuatu, buagus” katanya sambil mengotak atik tabletnya. Ternyata dia melihatkan foto aushof padaku.
“Sumpaahhh kereenn banget, kirim ke aku Zaiinnsss” pintaku sambil menarik-narik lengan bajunya. Kemudian “zaaiinnsss” teriak aushof dari depan ruang dosen yang mengagetkanku, seketika zains pun balik memanggil aushof dan aku pergi ke tempat teman-temanku sebelumnya, “malu tauk” gumamku.
Mereka bercengkrama dengan teman-teman kelasnya karena mereka bertiga teman sekelas plus soulmate tiga serangkai yang kemudian duduk dibelakang tempat dudukku, sedang aushof duduk disamping kiriku dengan menghadap ke arah belakangku. “Deg deg” jantungku berdebar kencang, aku pura-pura bercanda dengan Arel, teman sekelasku untuk menghindari kesalah tingkahanku. “Kan… ayo pulang” suara itu terdengar lembut namun terasa menusuk, kenapa didepanku dia mengajak pulang orang lain, memang sih aku nggak punya hak atas tingkah lakunya, namun apa ia tak melihat seberkas cahaya yang bersinar kemarin saat aku memandangnya. “bodoh” kata hatiku.
“Tidak cukup membahagiakan saat merah mengajak biru agar menjadi ungu didepan putih saat putih sangat mengharap merah untuk selalu disampingnya dan kini aku hanya berfikir, bagaimana caranya agar aku pantas mendampingimu… mendengar keluh kesahmu, mendengar cerita tentang harimu, memberikan pundakku untuk sekedar kau ingin bersandar, tersenyum saat kau bahagia dan apa pun yang sedang kau rasa aku ingin menemanimu selalu, selalu begitu dan ingin selamanya. Hanya itu” ku tulis pada sebuah status di facebook ku, sebuah rasa yang sedang aku rasa untukmu, “semoga kau mengerti” kataku lirih.
            Hari pun berjalan dengan semestinya hingga oktober menjadi November, desember dan seterusnya, hanya saja hati ini yang berjalan begitu lambat. Pikiranku masih saja tertuju pada satu nama, yaitu aushof, aushof, dan aushof, bahkan selama ini pun aushof tak mengerti akan rasaku padanya dan aku enggan untuk bilang cinta atau sesederhananya hanya kata suka, aku pikir dengan satu pandangan dan satu lirikan ia mengerti tentang rasaku, namun semua hanya terkaanku saja, dan ku biarkan rasa ini semakin tumbuh, tumbuh dan tumbuh. Aku hanya berfikir tentang sebuah rasa yang ku miliki, cintakah ini, kagumkah ini, atau hanya sebuah rasa yang tak jelas karena sisa-sisa pandangan dan lirikan kemarin ? entahlah, aku tak mampu menjawab semua itu, namun “aku berharap kau akan mengartikannya untukku, aushof” kataku lirih.
            “Aushof lo udah punya pacar, itu pacarnya” kata zains sambil menunjuk aushof di awal semester lima. Tanpa sadar air mataku pun menetes dan dengan cepat membasahi pipiku. Aku terdiam dan terpaku duduk sendiri memandang aushof dan wanita yang akhir-akhir ini sering ku lihat jalan bareng aushof, namanya lulu.
            “Aku bahagia jika kau tersenyum seperti itu, meski senyuman itu bukan karena aku. Namun aku merasa sedih dan kecewa, jujur… sakit shof…. Sakit banget, andai kau menegrti apa yang ku lakukan untukmu, kau bagai inspirasi dalam perjalanan hidupku, dahulu aku yang cuek dengan penampilan dan mencoba menarik didepanmu, mencoba menjadi penulis agar kau tahu bahwa aku pantas mendampingimu dengan predikat penulis yang ku punya, meski aku tak sesempurna lulu, aku selalu menjadikan diriku pantas untuk menemani hidupmu. Kini yang bisa ku lakukan hanyalah meminta sama Tuhan agar kamu tak pernah merasakan sakit seperti ini, karena aku tak sanggup jika harus melihat kamu merasa sakit seperti yang ku rasa saat ini, aku selalu meminta pada Tuhan agar engkau selalu dipenuhi kebahagiaan dan keceriaan karena itu juga membuatku bahagia” ku tulis pada sebuah kertas dan ku lipat menjadi origami sebuah pesawat terbang agar ia terbang menyampaikan rasa bahagiaku atas kebahagiaannya meski diiringi rasa sakit yang begitu dalam bahkan sangat dalam.
Beberapa bulan kemudian rasa ini masih tetap sama, bahkan semakin tumbuh dan berkembang hingga akhirnya acara wisuda memisahkan antara aku dan kamu, dan kini terjawab sudah pertanyaanku yang pernah terpikir dahulu, rasa penasaranku selama ini, “ternyata ini bukan kagum, atau sebatas sisa-sisa pandangan kemarin, aku pikir aku telah mencintaimu….. aushof dan mungkin hanya sebatas cinta. Selamat tinggal dan sampai berjumpa kembali dihari yang lebih baik” ucapku saat duduk di barisan wisudawan-wisudawati, karena aku akan melanjutkan kuliahku di Jepang.
            “Jika kau mencintai seseorang berikanlah signal-signal cintamu padanya agar ia mengerti bahwa kau mencintainya dan tak harus kau bilang cinta atau semacamnya, jangan hanya diam yang akhirnya juga membuatmu terluka saat ia telah bahagia bersama orang lain” pesan dari sahabatku yang bernama indra yang dulu sering ku abaikan dan kini terjadi padaku. Kemudian ku tulis pada secarik kertas kecil dan ku biarkan di atas meja belajarku.