Bayangan
diriku saat berlajan menuju kampus pun masih tak terlihat, “yaahhh….. pagi-pagi
gini harus masuk kuliah”, gerutuku sambil memainkan ponsel flip kesayanganku.
Aku berjalan melewati beberapa tempat untuk sampai di kampus. “sepi…”, kataku
lirih sambil duduk dan menyandarkan tubuhku pada sebuah tembok. Tak lama
kemudian satu persatu teman-temanku pada datang dan mengambil posisi
kesukaannya, begitu pun dengan ani, dia teman terdekatku di kampus dan di kelas
ini.
“Ani
siapa itu yang duduk bersama Zains ? kok aku nggak pernah lihat, dia anak
angkatan kita apa kakak angkatan kita ?”, tanyaku pada ani sambil menunjuk arah
taman kampus tepat didepan kelas Psikologi Agama.
“Nggak
tahu er, nggak pernah lihat juga”, jawab ani dengan aura kebingungan.
Aku
pun kembali membuka catatan tentang psikologi agama. Mata kuliah ini adalah
mata kuliah yang sangat lama waktunya, tiga SKS sekaligus hingga membuat kami merasa bosan dan terkadang
enggan walau hanya mendengar dosen yang menjelaskan. 09.30 adalah waktu yang
sangat kita tunggu-tunggu setelah berbosan-bosan duduk dari jam 07.00.
Beberapa
hari kemudian aku melihat cak bagier bersama orang yang waktu itu sempat
menggangguku, mereka sedang duduk di teras kampus, aku menyapa cak bagier, namun
temannya yang kini membuatku penasaran hanya melihatku, kemudian mereka pindah ke
taman. Saat beberapa waktu berselang, ku lihat ia sedang ngobrol dengan
seseorang, entahlah siapa dia, aku tak terlalu memperhatikan teman bicaranya
karena yang ku pandang saat itu hanya dia, dan saat itu pula ia juga
memandangku sampai mampu membuatku salah tingkah dan kemudian ku alihkan
pandanganku pada notebook sahabat setiaku.
Hari
ini ujian tengah semester pertama, lagi-lagi Psikologi Agama. Ketika aku keluar
kelas, aku melihat seseorang yang dari
kemarin-kemarin mengganggu pikiranku bersama dua teman yang sudah ku kenal
sejak masa kuliah aktif, yaitu zains dan cak bagier. Tiba-tiba suara seseorang
memanggilku dan aku pun menoleh padanya,
“Ada
apa zains ?”, tanyaku pada seseorang yang tadi memanggilku.
“Sini-sini…”
pintanya padaku, namun aku hanya menggeleng dan masuk ke kelas lagi, aku takut
salah tingkah didepan seseorang yang selama satu tahun ini baru ku temui
beberapa minggu lalu dan aku pun tak tahu nama orang tersebut. Karena begitu
penasaran aku pun memberanikan diri bertanya pada zains, dalam pikirku “mungkin
zains mengenal siapa dia, soalnya dia tadi bersama zains dan cak bagier, dan
mereka kelihatan akrab”.
“Zainnnnssss……
aku mau tanya sesuatu sama kamu, tapi janji ya jangan bilang siapa-siapa” ku
ketik pada sebuah obrolan di facebook ketika sore hari.
“Tanya
apa ?” jawab zains sekaligus.
“Tapi
janji ya jangan bilang siapa-siapa?” pintaku padanya karena selama mengenal
zains, zains ini tipe orang yang jail, takut kalau ia akan bercerita
pertanyaanku pada temannya yang kini mulai hidup di hatiku.
“Kalau
nggak percaya nggak usah tanya” jawabnya yang membuatku semakin sebel sama dia,
tapi dia memiliki kepositifan, yaitu baik hati.
“Gini
zains, tadi yang duduk didepanmu saat kamu ditaman itu namanya siapa?”.
“Yang
mana?”.
“Yang
depan kamu, tadi waktu kamu di taman kan bersama cak bagier dan…. Itu siapa
namanya?” jawabku menjelaskan kronologi kejadian disiang tadi.
“Oh…
aushof ta?” jawab zains yang membuat rasa penasaranku terjawab.
“Oh
namanya aushof? ok ok… terima kasih banyak zains” kataku diiringi ucapan
terimakasih. Mulailah saat itu aku mengetahui nama orang yang sedang mengganggu
pikiranku, “dia terlihat sempurna, tinggi, putih bersih, rapi, stylis, dan
terkesan keren banget” gumamku sambil tersenyum nggak jelas.
Keesokan harinya ujian matakuliah Agama
dan Gender. “ternyata sedikit mudah” pikirku sambil melangkah mengumpulkan
lembar jawaban. ”ini masih terlalu pagi jika aku harus balik ke kos, mau
ngapain juga di kos” pikirku. Kemudian aku pergi ke kantin perpustakaan,
disinilah tempatku menyendiri, berfikir dan berimajinasi tentang dunia fantasi
yang mengelilingi angan dalam sadarku. Ku buka facebook, blog, smaboy, dan yang
pasti ku buka cerpen-cerpen orang yang diposting didunia maya, itu kebiasaanku
dikala senggang.
Tak
terasa waktu begitu cepat berputar dan aku mulai bosan dengan suasana
disekitar, akhirnya ku putuskan untuk pulang. Saat ku lihat ponsel dan ku balas
sebuah pesan dari sahabatku, “aushof…” gumamku, ku lihat ia sedang duduk di
depan tv umum di perpustakaan sambil menoleh ke arah kirinya, entah apa yang ia
lakukan. Ketika aku semakin mendekati tiba-tiba ia menoleh padaku yang berjarak
kira-kira lima sampai tujuh meteran dari samping kanannya hingga aku
benar-benar disampingnya ia masih memandangku dan bodohnya diriku, aku pun tak
mampu berpaling dari pandangannya sampai akhirnya aku melewatinya dan tak
menoleh ke arahnya lagi. “Yaa Tuhan…. Pandangan tadi terlihat seperti ada rasa
penasaran dan kaget, apa maksudnya…” tanyaku pada Tuhan tanpa terjawab. Kemudian
aku pulang dan bercerita pada sahabatku yang ada di jawa timur.
Lima hari setelahnya aku bertemu
dengannya, yang berawal saat aku duduk ditaman dengan teman-teman kelasku, kemudian
terlihat zains yang sedang cari posisi di taman juga.
“Zaaiinnnsss…
Zaaiinnsss…” teriakku padanya, ia pun merespon dan memanggilku.
“Aku
punya sesuatu, buagus” katanya sambil mengotak atik tabletnya. Ternyata dia
melihatkan foto aushof padaku.
“Sumpaahhh
kereenn banget, kirim ke aku Zaiinnsss” pintaku sambil menarik-narik lengan
bajunya. Kemudian “zaaiinnsss” teriak aushof dari depan ruang dosen yang
mengagetkanku, seketika zains pun balik memanggil aushof dan aku pergi ke
tempat teman-temanku sebelumnya, “malu tauk” gumamku.
Mereka
bercengkrama dengan teman-teman kelasnya karena mereka bertiga teman sekelas
plus soulmate tiga serangkai yang kemudian duduk dibelakang tempat dudukku,
sedang aushof duduk disamping kiriku dengan menghadap ke arah belakangku. “Deg deg”
jantungku berdebar kencang, aku pura-pura bercanda dengan Arel, teman sekelasku
untuk menghindari kesalah tingkahanku. “Kan… ayo pulang” suara itu terdengar
lembut namun terasa menusuk, kenapa didepanku dia mengajak pulang orang lain, memang
sih aku nggak punya hak atas tingkah lakunya, namun apa ia tak melihat seberkas
cahaya yang bersinar kemarin saat aku memandangnya. “bodoh” kata hatiku.
“Tidak
cukup membahagiakan saat merah mengajak biru agar menjadi ungu didepan putih
saat putih sangat mengharap merah untuk selalu disampingnya dan kini aku hanya
berfikir, bagaimana caranya agar aku pantas mendampingimu… mendengar keluh
kesahmu, mendengar cerita tentang harimu, memberikan pundakku untuk sekedar kau
ingin bersandar, tersenyum saat kau bahagia dan apa pun yang sedang kau rasa
aku ingin menemanimu selalu, selalu begitu dan ingin selamanya. Hanya itu” ku
tulis pada sebuah status di facebook ku, sebuah rasa yang sedang aku rasa
untukmu, “semoga kau mengerti” kataku lirih.
Hari pun berjalan dengan semestinya
hingga oktober menjadi November, desember dan seterusnya, hanya saja hati ini
yang berjalan begitu lambat. Pikiranku masih saja tertuju pada satu nama, yaitu
aushof, aushof, dan aushof, bahkan selama ini pun aushof tak mengerti akan rasaku
padanya dan aku enggan untuk bilang cinta atau sesederhananya hanya kata suka, aku
pikir dengan satu pandangan dan satu lirikan ia mengerti tentang rasaku, namun
semua hanya terkaanku saja, dan ku biarkan rasa ini semakin tumbuh, tumbuh dan
tumbuh. Aku hanya berfikir tentang sebuah rasa yang ku miliki, cintakah ini,
kagumkah ini, atau hanya sebuah rasa yang tak jelas karena sisa-sisa pandangan dan
lirikan kemarin ? entahlah, aku tak mampu menjawab semua itu, namun “aku
berharap kau akan mengartikannya untukku, aushof” kataku lirih.
“Aushof lo udah punya pacar, itu
pacarnya” kata zains sambil menunjuk aushof di awal semester lima. Tanpa sadar
air mataku pun menetes dan dengan cepat membasahi pipiku. Aku terdiam dan
terpaku duduk sendiri memandang aushof dan wanita yang akhir-akhir ini sering
ku lihat jalan bareng aushof, namanya lulu.
“Aku bahagia jika kau tersenyum
seperti itu, meski senyuman itu bukan karena aku. Namun aku merasa sedih dan
kecewa, jujur… sakit shof…. Sakit banget, andai kau menegrti apa yang ku
lakukan untukmu, kau bagai inspirasi dalam perjalanan hidupku, dahulu aku yang
cuek dengan penampilan dan mencoba menarik didepanmu, mencoba menjadi penulis
agar kau tahu bahwa aku pantas mendampingimu dengan predikat penulis yang ku
punya, meski aku tak sesempurna lulu, aku selalu menjadikan diriku pantas untuk
menemani hidupmu. Kini yang bisa ku lakukan hanyalah meminta sama Tuhan agar
kamu tak pernah merasakan sakit seperti ini, karena aku tak sanggup jika harus
melihat kamu merasa sakit seperti yang ku rasa saat ini, aku selalu meminta
pada Tuhan agar engkau selalu dipenuhi kebahagiaan dan keceriaan karena itu
juga membuatku bahagia” ku tulis pada sebuah kertas dan ku lipat menjadi
origami sebuah pesawat terbang agar ia terbang menyampaikan rasa bahagiaku atas
kebahagiaannya meski diiringi rasa sakit yang begitu dalam bahkan sangat dalam.
Beberapa
bulan kemudian rasa ini masih tetap sama, bahkan semakin tumbuh dan berkembang
hingga akhirnya acara wisuda memisahkan antara aku dan kamu, dan kini terjawab
sudah pertanyaanku yang pernah terpikir dahulu, rasa penasaranku selama ini,
“ternyata ini bukan kagum, atau sebatas sisa-sisa pandangan kemarin, aku pikir
aku telah mencintaimu….. aushof dan mungkin hanya sebatas cinta. Selamat
tinggal dan sampai berjumpa kembali dihari yang lebih baik” ucapku saat duduk
di barisan wisudawan-wisudawati, karena aku akan melanjutkan kuliahku di Jepang.
“Jika kau mencintai seseorang
berikanlah signal-signal cintamu padanya agar ia mengerti bahwa kau mencintainya
dan tak harus kau bilang cinta atau semacamnya, jangan hanya diam yang akhirnya
juga membuatmu terluka saat ia telah bahagia bersama orang lain” pesan dari
sahabatku yang bernama indra yang dulu sering ku abaikan dan kini terjadi
padaku. Kemudian ku tulis pada secarik kertas kecil dan ku biarkan di atas meja
belajarku.